Sabtu, 19 Oktober 2013

Kebudayaan Thailand: Suku Karen Padaung (Suku Kayan) dan Gelang Besinya

       Tatapan polos dan bersahaja yang ditebarkan wanita-wanita Suku Karen Padaung (Suku Kayan) akan Anda balas dengan tatapan aneh, takjub dan penasaran melihat betapa panjangnya leher mereka serta membayangkan bagaimana ia melewati hari-harinya dengan dibebani sejumlah gelang logam pada leher, kaki maupun pergelangan tangan mereka. Itulah yang akan Anda rasakan kalau berkunjung ke desa Suku Karen di Thailand. Alasan mereka memakai gelang-gelang itu pun terbilang sangat unik. Konon katanya, mereka ingin menjadi seperti Burung phoenix.


   Di Provinsi Maehongson sebelah utara Kota Bangkok-Thailand, hiduplah beberapa suku gunung yang berasal dari Burma atau Myanmar. Diantaranya Suku Akha, Suku Karen, Suku Lisu dan sebagainya. Mereka adalah komunitas suku-suku yang memiliki latarbelakang sejarah dan kebudayaan unik.
     
      Namun di antara suku-suku itu, Suku Karen yang dianggap paling unik. Di leher wanita-wanita Suku Karen dipasang gelang logam berwarna keemasan. Gelang-gelang ini fungsinya untuk membentuk leher dan kaki mereka agar lebih panjang, karena menurut adat mereka, semakin panjang leher wanitanya maka mereka akan dianggap semakin tampak cantik.

   Yang lebih unik lagi alasan mereka mengenakan gelang-gelang itu dilatarbelakangi kebudayaan turun temurun serta kepercayaan bahwa wanita Suku Karen berasal dari seekor Burung Phoenix. Bagi orang Suku Karen, phoenix adalah nenek moyang wanita yang berpasangan dengan naga yang dianggap sebagai nenek moyangnya para pria suku itu. Berat gelang besi di leher wanita dewasa mencapai 5 kg dan gelang kaki di bawah lutut beratnya masing-masing 1 kg. Berarti setiap hari mereka membawa beban 7 kg. Wah, mau cantik ternyata berat juga ya…!

      Gelang tersebut mulai dipakaikan sejak mereka berusia 5 tahun. Awalnya hanya 2-3 tumpuk gelang, dan setiap 2-3 tahun sekali tumpukan gelang ditambah sampai mereka mencapai usia 19 tahun dimana gelang-gelang tadi digantikan dengan gelang besi yang terbuat dari 1 besi lonjor panjang yang dibentuk melingkar / dililitkan ke leher mereka. Gelang itu bisa dilepas tapi proses pelepasannya sendiri tidak mudah dan hanya dilakukan pada saat menikah, melahirkan dan meninggal dunia.

       Berat gelang-gelang itu mendorong tulang selangka, tulang bahu dan tulang rusuk turun. Sehingga secara otomatis leher wanita-wanita karen memanjang. Semakin panjang, mereka merasa semakin mirip dengan Burung Phoenix nenek moyang mereka.

   Fungsi lain dari gelang-gelang itu adalah sebagai pelindung. Dulu waktu mereka masih tinggal dipegunungan, mereka sering terlibat kontak dengan binatang buas seperti harimau, beruang dan sebagainya. Umumnya, binatang buas menyerang manusia pada bagian leher dan tenggorokan. Untuk itulah gelang-gelang itu berfungsi sebagai pelindung bagi kaum hawa Suku Karen.

     Keunikan Suku Karen dimanfaatkan dengan “sangat baik” oleh dunia pariwisata Thailand. Mereka ditempatkan di beberapa desa diantaranya, Huay Pu Keng, Huay Suah Thoh, Kayan Pu Keng dan sebagainya. Desa-desa ini di promosikan sebagai salah satu keunikan kebudayaan Thailand. Para wisatawan yang berkunjung untuk menyaksikan keunikan Suku Karen dikenakan biaya sebesar $10 US. Untuk membantu pendapatan keluarga, wanita Suku Karen juga menjual berbagai jenis barang kerajinan khas suku itu. Misalnya kain tenun Suku Karen yang cukup popular serta foto-foto yang menunjukkan kegiatan mereka sehari-hari termasuk proses pelepasan gelang leher. Sementara kaum pria sehari-harinya bekerja di ladang dari pagi hingga petang.

      Namun keunikan wanita Suku Karen bukan tak beresiko. Kaum wanita di suku ini kebanyakan hidup sampai umur 45-50 tahun saja. Kabarnya karena berat gelang yang mencapai 7 kg, dipercaya telah merusak tulang leher seiring bertambahnya usia mereka. Dunia pariwisata belakangan sering dipersalahkan karena mendorong penggunaan cincin leher. Alasan industri wisata melakukan itu tentu saja karena Suku Karen merupakan atraksi populer bagi wisatawan. Itu artinya memberikan pemasukan yang tidak sedikit bagi industri pariwisata Thailand.

Sumber:

Ulasan Menurut Penulis
     Satu lagi budaya yang tidak kalah unik dan jarang ditemui di dunia yaitu tradisi turun temurun melilitkan gelang-gelang logam berat di leher dan pergelangan kaki seorang wanita, semakin banyak gelang dan semakin panjang lehernya, maka semakin cantiklah ia. Entah bisa dibilang sebuah keindahan atau penderitaan bagi mereka, tapi inilah yang dialami wanita-wanita suku Padaung di Thailand. Mereka harus menahan sakit selama bertahun-tahun. Tradisi ini sangat beresiko karena apabila gelang tersebut dilepas semuanya, beberapa menit kemudian lehernya patah dan bisa berujung pada kematian. Saya penasaran bagaimana rasanya memakai gelang di leher, pasti sangat tidak nyaman karena seperti yang kita lihat, gerakan menjadi terbatas, untuk menoleh saja sangat susah. Menurut saya, budaya ini sangat berbahaya dan menyiksa. Tetapi hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Perjuangan perempuan suku Karen dalam mempertahankan tradisi di tengah modernisasi saat ini, membuat saya lebih menghargai perbedaan kebudayaan setiap suku.  

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR (3)
NAMA: Novi Amanda Igasenja
KELAS: 1ID07
NPM: 36413516

Sabtu, 12 Oktober 2013

TRADISI POTONG JARI DI PAPUA

       Apakah ungkapan kesedihan yang dipertunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Menangis, barang kali itu yang paling sering kita jumpai. Bagi umumnya masyarakat pegunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja. Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.

       Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok organisasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pegunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

                                           
     Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri. Pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka. Seperti kisah seorang ibu asal Moni (sebuah suku di daerah Paniai), dia bercerita bahwa jari kelingkingnya digigit oleh ibunya ketika ia baru dilahirkan. Hal itu terpaksa dilakukan oleh sang ibu karena beberapa orang anak yang dilahirkan sebelumnya selalu meninggal dunia. Dengan memutuskan jari kelingking kanan anak baru saja ia lahirkan, sang ibu berharap agar kejadian yang menimpa anak-anak sebelumnya tidak terjadi pada sang bayi. Hal ini terdengar sangat eksrim, namun kenyataannya memang demikian, wanita asal Moni ini telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu.

       Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong. Namun kini budaya ‘potong jari’ sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.

Sumber:
http://andikanatasurya.wordpress.com/daftar-artikel/tradisi-potong-jari-di-papua-hiyyyyy-syeremmm/

Ulasan Menurut Penulis
     Bicara tentang budaya di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya. Kali ini saya membahas mengenai masyarakat Wamena di Papua yang memiliki budaya unik yaitu memotong setiap ruas jari mereka sebagai ungkapan kesedihan yang ditunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari yang dilakukan oleh masyarakat Wamena ini tergolong ekstrem apalagi di zaman yang sudah modern seperti sekarang. Tradisi yang sudah dilakukan secara turun-menurun ini dijadikan sebagai simbol duka cita keluarga. Budaya memotong jari ini tentunya sangat merugikan karena menghilangkan sebuah organ tubuh yang akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Pemotongan jari dengan pisau, parang atau kapak yang tidak steril dapat menyebabkan infeksi atau tetanus. Ini sangat membahayakan keselamatan mereka. Hilangnya sebagian jari ini kemudian akan menyulitkan mereka untuk melakukan aktivitas seperti mengambil makanan atau benda-benda lain di sekitar. Saran saya, sebaiknya budaya seperti ini mulai ditinggalkan dan diganti dengan alternatif lain misalnya dengan menyembelih hewan sebagai kurban.

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR (2)
NAMA: Novi Amanda Igasenja
KELAS: 1ID07
NPM: 36413516

Minggu, 06 Oktober 2013

TARIAN BALI YANG TERKENAL DI DUNIA

        Bali Pulau Dewata yang terkenal di seluruh dunia, dari segi budaya serta adat istiadatnya yang menarik berbagai pelancong dari seluruh dunia. Salah satu budaya Bali yang cukup terkenal ialah tarian Balinya. Banyak wisatawan yang datang ke Bali untuk mempelajari tarian-tarian Bali. Berikut 3 jenis tarian Bali yang dikenal di seluruh dunia.

1. Tari Pendet

        Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, sebuah tempat ibadah bagi umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Tarian ini diciptakan oleh I Wayan Rindi. Rindi merupakan maestro tari yang dikenal luas sebagai penggubah tari pendet sakral yang biasa dipentaskan di pura setiap upacara keagamaan. Tari pendet juga bisa berfungsi sebagai tari penyambutan. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi tarian ucapan selamat datang, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Tari Pendet hingga saat ini menjadi tontonan wajib wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata.

2. Tari Kecak

        Kecak adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan Kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun demikian, Kecak berasal dari ritual Sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat. Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sigriwa. Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana. Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya. Hingga saat ini tari Kecak menjadi tarian yang di kenal dunia lawat ciri khasnya yang tidak ada di negara manapun.

3. Tari Legong 

        Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.

Sumber:

Ulasan Menurut Penulis
        Negara kita, Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam dan budaya. Tentu kita bangga menjadi orang Indonesia karena Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Misalnya saja seperti bahasa daerah, tradisi, pakaian adat, kesenian musik daerah, batik, atau seni tari yang sudah saya bahas di atas. Dalam menciptakan sebuah tarian, tentu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Butuh waktu yang lama karena sebuah tarian tidak dibuat secara sembarangan. Tarian diciptakan memiliki fungsi tersendiri yaitu sebagai sarana kepentingan upacara, sarana pendidikan, sebagai hiburan dan seni. Masuknya budaya asing di Indonesia yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia sangat berpengaruh dan berdampak besar bagi budaya kita. Apabila kita sebagai masyarakat Indonesia tidak menyadari dan tidak ada upaya untuk melestarikan budaya Indonesia, maka bisa saja kedepannya kita tidak dapat lagi melihat indahnya kebudayaan Indonesia. Maka dari itu, penting sekali untuk melestarikan budaya lokal agar budaya kita tidak diklaim oleh negara lain, misalnya dengan mengenal dan mempelajari budaya-budaya kita, mengajarkan kesenian tradisional kepada generasi yang lebih muda, memperkenalkan budaya Indonesia kepada negara asing dan selalu mempertahankannya agar tidak punah. Ayo kita sebagai generasi penerus, sudah seharusnya melestarikan budaya bangsa negara kita tercinta, Indonesia!

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR (1)
NAMA: Novi Amanda Igasenja
KELAS: 1ID07
NPM: 36413516