Photo courtesy of http://www.indonesia.travel/public/media/images/upload/article/Lompat-Batu-Nias-Sumut.jpg
Batu yang harus
dilompati tingginya sekira 2 meter, berlebar 90 cm, dan panjangnya 60 cm.
Dengan ancang-ancang lari yang tidak jauh, seorang pemuda Nias akan dengan
tangkas melaju kencang lalu menginjak sebongkah batu untuk kemudian melenting
ke udara melewati sebuah batu besar setinggi 2 meteran menyerupai benteng.
Puncak bantu tidak boleh tersentuh dan sebuah pendaratan yang sempurna harus
dituntaskan karena apabila tidak maka resikonya adalah cedera otot atau bahkan
patah tulang.
Sedari 7 tahun
anak lelaki di Pulau Nias berlatih melompati tali yang terus meninggi
takarannya seiring usia mereka yang bertambah. Bila saatnya tiba maka mereka
akan melompati tumpukan batu berbentuk seperti prisma terpotong setinggi 2
meter. Ini juga sekaligus menjadi penakar keberanian dan kedewasaan mereka
sebagai keturunan pejuang Nias.
Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa itu.
Tradisi fahombo diwariskan turun-temurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna.
Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu suku-suku di pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau masalah perbudakan. Masing-masing desa kemudian membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi 2 meter. Oleh karena itu, tradisi lompat batu pun lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang.
Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan dari strata balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit untuk berperang. Selain memiliki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan ilmu-ilmu hitam, mereka juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.
Kini tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antarsuku atau antardesa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias. Pemuda Nias yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik sehingga dapat menikah. Kadang orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga akan dianggap menjadi pembela desanya jika terjadi konflik.
Atraksi hombo batu tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka. Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam hombo batu maka akan mengadakan pesta dengan menyembelih beberapa ekor ternak.
Anda dapat menikmati atraksi mengagumkan ini di beberapa tempat di Pulau Nias, seperti di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari) atau di Desa Bawomataluo, Kabupaten Nias Selatan. Saat menyambangi Pulau Nias jangan lewatkan juga untuk mengamati kemegahan warisan budayanya berupa arca peninggalan megalit, rumah tradisional, dan tentunya berselancar (surfing) atau menyelam (diving). (Him/Indonesia.travel)
Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa itu.
Tradisi fahombo diwariskan turun-temurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna.
Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu suku-suku di pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau masalah perbudakan. Masing-masing desa kemudian membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi 2 meter. Oleh karena itu, tradisi lompat batu pun lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang.
Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan dari strata balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit untuk berperang. Selain memiliki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan ilmu-ilmu hitam, mereka juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.
Kini tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antarsuku atau antardesa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias. Pemuda Nias yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik sehingga dapat menikah. Kadang orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga akan dianggap menjadi pembela desanya jika terjadi konflik.
Atraksi hombo batu tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka. Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam hombo batu maka akan mengadakan pesta dengan menyembelih beberapa ekor ternak.
Anda dapat menikmati atraksi mengagumkan ini di beberapa tempat di Pulau Nias, seperti di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari) atau di Desa Bawomataluo, Kabupaten Nias Selatan. Saat menyambangi Pulau Nias jangan lewatkan juga untuk mengamati kemegahan warisan budayanya berupa arca peninggalan megalit, rumah tradisional, dan tentunya berselancar (surfing) atau menyelam (diving). (Him/Indonesia.travel)
Sumber:
Ulasan menurut penulis
Tradisi lompat
batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai hombo merupakan aset warisan kebudayaan bangsa Indonesia yang telah dikenal
sampai ke mancanegara. Lompat batu ini dilakukan oleh laki-laki sebagai
simbol kedewasaan pemuda Nias. Batu yang dilompati ini kira-kira setinggi 2 meter dan dilompati tanpa
menyentuh puncak batu. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi
tumpukan batu tersebut, tetapi juga harus memiliki teknik seperti saat
mendarat, karena jika mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan
cedera otot atau patah tulang. Meskipun begitu, budaya hombo ini harus tetap
dijaga dan dipelihara keutuhannya. Lompat batu nias ini juga menjadi sejarah
yang harus diturunkan dari generasi ke generasi guna mempertahankan tradisi kebudayaan yang ada.
TUGAS ILMU BUDAYA DASAR (8)
NAMA: Novi Amanda Igasenja
KELAS: 1ID07
NPM: 364 13 516
NAMA: Novi Amanda Igasenja
KELAS: 1ID07
NPM: 364 13 516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar